Implementasi Hawalah dalam Perbankan Syariah: Studi Kasus dan Contoh

Table of Contents

Secara etimologis hawalah atau hiwalah berasal dari kata asy’-syai haulun berarti berpindah. Tahawwala min maqanihi artinya berpindah dari tempatnya. Adapun hawalah secara terminologis, adalah memindahkan utang dari tanggungan muhil (orang yang memindahkan) kepada tanggungan muhal’alaih (orang yang berutang kepada muhil). Hawalah menurut pasal 20 ayat (13) Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah adalah pengalihan utang dari muhil al-ashil kepada muha’alaih.


Dasar Hukum Hawalah

Hukum Hawalah adalah boleh (jaiz) dan disyariatkan dalam islam. Ini berdasarkan hadist dan ijma’. Dasar dari hadist bahwa Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Nabi SAW bersabda “Penundaan pembayaran hutang oleh orang kaya adalah kezaliman, jika seorang dari kamu sekalian dipindahkan utangnya kepada orang kaya, ikutilah” . (HR. Bukhari Muslim). Dasar dari Ijma’ adalah bahwa ulama sepakat diperbolehkannya hawalah secara umum karena manusia membutuhkannya.


Pembagian Hawalah

Mazhab Hanafi membagi hawalah menjadi dua berdasarkan objek akad:

  1. Hawalah Haq (Pemindahan Hak): Memindahkan hak menurut utang.
  2. Hawalah Dain (Pemindahan Utang): Memindahkan kewajiban membayar utang.

Dari sisi lain, hawalah terbagi menjadi dua:

  1. Hawalah Muqayyadah (Pemindahan Bersyarat): Pemindahan sebagai ganti pembayaran utang pihak pertama kepada pihak kedua.
  2. Hawalah Mutlaqah (Pemindahan Mutlak): Pemindahan utang tanpa syarat sebagai ganti pembayaran utang pihak pertama kepada pihak kedua.


Rukun dan Syarat Hawalah

Rukun Hawalah ada 5 yaitu, sebagai berikut:

  1. Muhil (peminjam)
  2. Muhal (pemberi pinjaman)
  3. Muhal’alaih (penerima hawalah)
  4. Muhal bihi (utang)
  5. Akad

Syarat Hawalah menurut Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah adalah sebagai berikut:

  1. Pihak yang melakukan akad harus memiliki kecakapan hukum (pasal 362).
  2. Peminjam harus memberitahu pemberi pinjaman bahwa ia akan memindahkan utangnya kepada pihak lain.
  3. Persetujuan pemberi pinjaman mengenai rencana peminjam untuk memindahkan utang adalah syarat diperbolehkannya akad hawalah.
  4. Akad hawalah dapat dilakukan jika pihak penerima hawalah menyetujui (Pasal 363 ayat 1-3).
  5. Hawalah tidak disyaratkan adanya utang dari penerima hawalah kepada pemindah utang.
  6. Hawalah tidak disyaratkan adanya imbalan dari penerima hawalah kepada pemindah utang (Pasal 364 ayat 1-2).


Syarat Sah Hawalah menurut Prof. Abdullah bin Muhammad ath-Thayyar

  1. Persamaan Dua Hak

    Hawalah adalah memindahkan hak dari satu pihak ke pihak lain. Pemindahan ini harus dilakukan dengan menjaga kesamaan dalam jenis, sifat, penempatan, dan tenggang waktu dari hak yang dipindahkan. Jika terdapat perbedaan dalam salah satu dari aspek-aspek tersebut, maka hawalah tidak sah.
  2. Hawalah pada Utang yang Telah Tetap

    Hawalah hanya sah jika dilakukan pada utang yang telah tetap. Hal ini berarti hawalah tidak sah jika diterapkan pada utang dalam transaksi salam, karena sifatnya yang tidak tetap. Transaksi salam dapat dibatalkan jika barang yang ditransaksikan mengalami masalah.
  3. Hawalah pada Harta yang Diketahui

    Hawalah harus dilakukan pada harta yang jelas dan diketahui. Dalam konteks jual beli, hawalah tidak sah jika diterapkan pada barang yang belum diketahui. Hawalah harus melibatkan barang atau hak yang dapat diserahterimakan. Barang yang tidak diketahui tidak dapat diserahterimakan, sehingga hawalah pada barang semacam itu tidak sah.
  4. Kerelaan Muhil dan Muhal

  5. Hawalah harus dilakukan dengan kerelaan dari kedua belah pihak, yakni muhil (orang yang memindahkan hak) dan muhal (orang yang menerima hak yang dipindahkan). Tanpa kerelaan dari kedua pihak ini, hawalah tidak sah.


Akibat Hawalah

Adapun akibat hawalah yaitu, Sebagai Berikut:
  1. Pihak yang utangnya dipindahkan wajib membayar utangnya kepada penerima hawalah.
  2. Penjamin utang kehilangan haknya untuk menahan barang jaminan (Pasal 365 ayat 1-2).
  3. Utang pihak peminjam yang meninggal sebelum lunas dibayar dengan harta yang ditinggalkannya.
  4. Pembayar utang kepada penerima hawalah harus didahulukan jika harta yang ditinggalkan tidak mencukupi (Pasal 366 ayat 1-2).
  5. Akad hawalah bersyarat menjadi batal jika syarat tidak terpenuhi (Pasal 367).
  6. Peminjam wajib menjual kekayaannya jika pembayaran utang yang dipindahkan ditetapkan dalam akad bahwa utang akan dibayar dengan dana hasil penjualan (Pasal 368).
  7. Pembayaran utang dapat dilakukan dengan waktu tertentu atau tanpa waktu pasti (Pasal 369).
  8. Peminjam terbebas dari kewajiban membayar utang jika penerima hawalah membebaskannya (Pasal 370).
  9. Jika penerima hawalah meninggal dunia, hawalah tidak dapat diwariskan (Pasal 371).


Berakhirnya Hawalah

Para ulama fiqh mengemukakan bahwa akad hawalah akan berakhir apabila terjadi hal-hal berikut:

  1. Pembatalan Akad oleh Salah Satu Pihak:

    Salah satu pihak yang sedang melakukan akad hawalah memfasakh (membatalkan) akad hawalah sebelum akad itu berlaku secara tetap. Dengan adanya pembatalan akad tersebut, pihak kedua kembali berhak menuntut pembayaran utang kepada pihak pertama. Demikian pula pihak pertama kepada pihak ketiga.
  2. Pelunasan Utang oleh Pihak Ketiga:

    Pihak ketiga melunasi utang yang dialihkan itu kepada pihak kedua.
  3. Wafatnya Pihak Kedua:

    Pihak kedua wafat, sedangkan pihak ketiga merupakan ahli waris yang mewarisi harta pihak kedua.
  4. Hibah atau Sedekah oleh Pihak Kedua:

    Pihak kedua menghibahkan atau menyedekahkan harta yang merupakan utang dalam akad hawalah itu kepada pihak ketiga.
  5. Pembebasan Utang oleh Pihak Kedua:

    Pihak kedua membebaskan pihak ketiga dari kewajibannya untuk membayar utang yang dialihkan itu.
  6. Hak Pihak Kedua Tidak Dapat Dipenuhi (Menurut Mazhab Hanafi):

    • Hak pihak kedua tidak dapat dipenuhi karena at-tawa (keadaan tak terduga), yaitu pihak ketiga mengalami muflis (bangkrut) atau wafat dalam keadaan muflis, atau dalam keadaan tidak ada bukti autentik tentang akad hawalah, pihak ketiga mengingkari akad itu.
    • Menurut Mazhab Maliki, Syafi'i, dan Hambali, selain akad hawalah sudah berlaku tetap karena persyaratan yang ditetapkan sudah terpenuhi, maka akad hawalah tidak dapat berakhir karena at-tawa.


Berikut adalah beberapa contoh penerapan hawalah dalam berbagai konteks untuk membantu anda memahami lebih mendalam mengenai konsep ini:

Contoh 1: Pengalihan Utang

Situasi: Ahmad berutang sebesar Rp 50 juta kepada Bank Syariah A. Namun, Ahmad juga memiliki piutang yang belum tertagih sebesar Rp 50 juta dari perusahaan B.

Proses Hawalah:

  1. Ahmad menghubungi Bank Syariah A dan mengajukan permohonan untuk mengalihkan utangnya kepada perusahaan B.
  2. Bank Syariah A menyetujui permohonan Ahmad setelah melakukan penilaian terhadap kemampuan perusahaan B untuk membayar utang tersebut.
  3. Ahmad memberi tahu perusahaan B tentang pengalihan utangnya dan perusahaan B setuju untuk melunasi utang Ahmad kepada Bank Syariah A.
  4. Bank Syariah A mengalihkan utang Ahmad kepada perusahaan B. Sekarang, perusahaan B bertanggung jawab untuk membayar utang sebesar Rp 50 juta kepada Bank Syariah A.

Contoh 2: Penagihan Piutang

Situasi: Fatimah memiliki piutang sebesar Rp 100 juta dari perusahaan C, tetapi membutuhkan uang tunai segera dan tidak bisa menunggu perusahaan C membayar piutang tersebut.

Proses Hawalah:

  1. Fatimah menghubungi Bank Syariah B dan menawarkan untuk mengalihkan piutangnya dari perusahaan C kepada bank tersebut.
  2. Bank Syariah B setuju untuk mengambil alih piutang Fatimah setelah melakukan penilaian terhadap perusahaan C.
  3. Fatimah dan Bank Syariah B menyepakati pengalihan piutang. Fatimah memberikan dokumen yang diperlukan kepada bank.
  4. Bank Syariah B kemudian menagih piutang sebesar Rp 100 juta dari perusahaan C.
  5. Setelah berhasil menagih piutang, Bank Syariah B mengkreditkan dana hasil penagihan ke rekening Fatimah, dikurangi biaya administrasi yang disepakati.

Contoh 3: Pembayaran Hutang Dagang

Situasi: Perusahaan D berutang kepada supplier sebesar Rp 200 juta untuk pembelian bahan baku. Namun, perusahaan D mengalami kesulitan likuiditas dan tidak mampu melunasi utang tersebut tepat waktu.

Proses Hawalah:

  1. Perusahaan D menghubungi Bank Syariah C dan meminta bantuan untuk mengalihkan utangnya kepada supplier.
  2. Bank Syariah C setuju untuk membantu perusahaan D setelah melakukan penilaian terhadap kemampuan perusahaan D untuk melunasi utang tersebut di masa depan.
  3. Perusahaan D, supplier, dan Bank Syariah C menyepakati pengalihan utang melalui akad hawalah.
  4. Bank Syariah C mengalihkan utang sebesar Rp 200 juta dari perusahaan D kepada supplier. Sekarang, supplier berhak menagih utang tersebut kepada Bank Syariah C.
  5. Perusahaan D kemudian melunasi utangnya kepada Bank Syariah C sesuai dengan jadwal pembayaran yang disepakati.

Contoh 4: Pembiayaan Vendor/Supplier

Situasi: Perusahaan E memiliki kontrak dengan vendor F untuk penyediaan barang senilai Rp 300 juta. Namun, perusahaan E tidak memiliki dana yang cukup untuk membayar vendor F secara langsung.

Proses Hawalah:

  1. Perusahaan E menghubungi Bank Syariah D dan mengajukan permohonan untuk menggunakan hawalah dalam pembiayaan kontrak tersebut.
  2. Bank Syariah D setuju untuk membantu setelah melakukan penilaian terhadap kredibilitas dan kemampuan finansial perusahaan E.
  3. Perusahaan E, vendor F, dan Bank Syariah D menyepakati akad hawalah. Bank Syariah D mengalihkan kewajiban pembayaran sebesar Rp 300 juta dari perusahaan E kepada vendor F.
  4. Vendor F menerima pembayaran dari Bank Syariah D.
  5. Perusahaan E kemudian melunasi utangnya kepada Bank Syariah D sesuai dengan jadwal pembayaran yang disepakati.

Dengan contoh-contoh ini, kita bisa melihat bagaimana hawalah diterapkan dalam berbagai situasi untuk membantu mengelola utang dan piutang, memfasilitasi pembayaran, serta mendukung likuiditas dalam transaksi bisnis dan perbankan syariah. Demikian penjelasan untuk hawalah semoga bermanfaat....


Reference

- Ibnu Muflih, al-mubdi’ fi syarhi al-muqni, Juz IV, Hlm. 270

- Nasrun haroen, perdagangan saham di bursa efek,Tinjauan Hukum Islam , (Jakarta: yayasan kalimah, Cet 1, 2000) , hlm. 223

- Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, Loc.,cit.,hlm. 227

- Pasal 361 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah

- Abdullah bin Muhammad ath-Thayyar et.,al.,loc.cit. hlm. 215

Posting Komentar