Mahjur dalam Fiqh Islam: Pengertian, Dasar Hukum, dan Implementasinya
Mahjur berasal dari kata al-hajr, hujrajan atau hajaran, secara etimologis berarti tercegah dan terbatasi, terhalang, terdinding. Adapun secara terminologis mahjur adalah mencegah atau membatasi seseorang untuk membelanjakan hartanya.
Berikut adalah pandangan beberapa imam mazhab mengenai
definisi dari mahjur, yaitu:
1. Imam Asy-Syafi'i
Beliau mengartikan mahjur sebagai seseorang yang tidak sah untuk memberikan kesaksian karena ketidakmampuan atau ketidakmampuan dalam memenuhi syarat sebagai saksi yang terpercaya.
2. Imam Malik
Dalam pandangannya, mahjur merujuk pada seseorang yang kesaksiannya tidak diterima karena adanya cacat pada dirinya, seperti kurangnya kejujuran atau kredibilitas.
3. Imam Abu HanifahBeliau menjelaskan bahwa mahjur adalah seseorang yang dilarang untuk berbicara dalam urusan tertentu karena adanya alasan-alasan hukum yang membuat kesaksiannya tidak valid.
Mahjur adalah istilah dalam hukum Islam yang merujuk pada
seseorang yang dianggap tidak cakap hukum, atau tidak memiliki kapasitas hukum
penuh untuk melakukan perbuatan hukum tertentu. Istilah ini sering digunakan
dalam konteks pengelolaan harta atau tindakan hukum lainnya yang memerlukan
kapasitas hukum.
Ada beberapa alasan mengapa seseorang bisa dianggap mahjur,
antara lain:
- Anak di bawah umur, Mereka yang belum mencapai usia dewasa (baligh) dan dianggap belum memiliki kedewasaan untuk mengelola harta atau melakukan perbuatan hukum sendiri.
- Orang yang mengalami gangguan mental, Seseorang yang dianggap tidak mampu berpikir secara sehat dan rasional karena kondisi mentalnya.
- Orang tua yang sudah pikun, Seseorang yang sudah lanjut usia dan kehilangan kemampuan untuk mengurus urusan pribadinya.
Orang yang berstatus mahjur biasanya memerlukan perwalian
atau pengawasan dari wali atau pengadilan untuk melakukan perbuatan hukum
tertentu, seperti transaksi keuangan atau pernikahan. Wali atau pengawas
tersebut bertindak atas nama dan untuk kepentingan orang yang dianggap mahjur.
Dasar Hukum Mahjur
Mahjur disyariatkan dan dibolehkan berdasarkan Al-Qur’an dan
Hadist, Adapun Firman Allah SWT dalam QS. Al-Baqarah/2 : 282, yaitu:
"Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar.
Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya.
Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu).
Jika tak ada dua oang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka yang seorang mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil. dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya.
Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu'amalahmu itu), kecuali jika mu'amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu,
Maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu."
Kemudian dalil dari hadist adalah sebagaimana yang diriwayatkan Ka'ab Ibnu Malik r.a bahwa Nabi Muhammad SAW menahan Muadz r.a untuk membelanjakan hartanya dan beliau menjual hartanya. (HR. Al-Hakim dan Daru Quthni).
Tujuan Mahjur
1. Mahjur dilakukan guna menjaga hak orang lain, seperti pencegahan terhadap:
- Orang yang hutangnya lebih banyak daripada hartanya, orang ini dilarang mengelola harta guna menjaga hak-hak yang berpiutang
- Orang yang sakit parah dilarang berbelanja lebih dari sepertiga hartanya guna menjaga hak-hak ahli warisnya
- Murtad (orang yang kelur dari agama islam) Dilarang mengedarkan hartanya guna menjaga hak Muslimin Dalam Hadis sebagaimana yang diriwayatkan Ka'ab Ibnu Malik r.a bahwa Nabi Muhammad SAW menahan Muadz r.a untuk membelanjakan hartanya dan beliau menjual hartanya. (HR. Al-Hakim dan Daru Quthni).
- Anak kecil dilarang membelanjakan hartanya sehingga berusia dewasa dan sudah pandai mengelola dan mengendalikan harta
- Orang gila dilarang mengelola hartanya sebelum dia sembuh, Hal ini dilakukan juga untuk menjaga hak-haknya sendiri
- Pemboros dilarang membelanjakan hartanya sebelum dia sadar. Hal ini juga untuk menjaga hak terhadap hartanya ketika ia membutuhkan pembelanjaannya
Hikmah Adanya Mahjur
Allah Subhanahu Wa Ta'ala mensyariatkan mahjur terhadap anak kecil, orang gila dan orang yang belum sempurna akalnya dalam rangka menjaga harta mereka dari tangan orang-orang yang suka menguasai harta orang lain dengan cara yang batil, dan menjaga mereka dari memiliki harta sendiri jika belum pandai membelanjakan hartanya.
Mahjur terhadap Muflis (bangkrut) dilakukan dengan tujuan untuk menjaga hartanya untuk kemaslahatan keluarganya, pihak pemberi utang dan orang-orang yang mempunyai hak atasnya agar harta tersebut tidak menjadi sia-sia.
Oleh karena itu, ia tidak boleh membelanjakan hartanya agar terwujud keadilan dalam mendistribusikan hartanya. begitu pula Muflis Dapat selamat dari tuntutan orang-orang yang memberikan hutang. demikian ini untuk memberikan perlindungan terhadap dirinya dan juga orang lain.
Sebab-Sebab Terjadinya Mahjur
Sebab-sebab seseorang dilarang mengelola hartanya sendiri yaitu, sebagai berikut:
a. Dibawah umur
Maksudnya dibawah umur adalah anak yang belum aqil baligh, baik karena akalnya belum matang atau karena lainnya, ia harus diawasi dan dijaga oleh walinya.maka haknya belum akan diserahkan sebelum ia baligh, karena diduga hartanya akan di sia-siakan.
b. Safih (Bodoh)
Safih (Bodoh) kurang akal, mungkin karena masih kecil, dungu, atau karena umurnya sudah tua (pikun).
c. Lemah rohani dan jasmani
Orang yang lemah rohani dan jasmani dengan sendirinya tidak akan sanggup mengurus harta kekayaannya jika ia memiliki harta.
d. Orang yang sakit parah
Sesungguhnya orang yang sakit (yang tidak akan sembuh) tidak berdaya lagi untuk berbuat apa-apa, bila ia memiliki harta, harta tersebut berada dibawah penguasaan ahli warisnya.
e. Sedang di gadai
Orang yang barangnya sedang di gadaikan tidak berkuasa atas barang-barangnya itu, sebab benda itu merupakan jaminan atau barang diatas utangnya yang diambil dari orang lain. benda yang digadaikan tersebut dibawah pengawasan orang yang mengutangkan kepadanya.
f. Wanita bersuami
Seorang wanita yang mempunyai suami, berada di bawah pengawasan suaminya, baik dirinya sendiri, anak-anaknya maupun harta Bendanya. Oleh karena itu, wanita tak berkuasa atau Berwenang atas hartanya kecuali harta-harta yang dikhususkan untuknya sendiri.
Hal ini berdasarkan hadis Rasulullah shallallahu alaihi wasallam “wanita tidak boleh memberikan sesuatu kecuali atas suaminya,” dan dalam riwayat lain “Tidak boleh wanita mengurus masalah hartanya bila suaminya telah memiliki tanggung jawab.”
g. Keluar dari Islam (Murtad)
Orang yang murtad terhalang menguasai hartanya, Sebab dia sendiri berada dalam kekuasaan pemerintahan Islam, ia tidak kuasa atas hartanya karena ia menerima hukuman mati atas kesalahan yang dibuatnya, yaitu meninggalkan keimanan yang sangat dilarang oleh agama Islam.
h. Bangkrut (Muflis)
Yang dimaksud dengan bangkrut adalah orang yang utangnya lebih besar daripada hartanya. Dengan demikian semua hartanya berada dalam pengawasan orang-orang yang memberikan hutang kepadanya.
Hal ini berdasarkan Hadis Rasulullah shallallahu alaihi wasallam: Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu kami mendengar Rasulullah bersabda “Siapa yang mendapatkan hartanya yang asli (belum berubah) pada orang yang bangkrut maka dia lebih berhak atas barangnya itu daripada yang lainnya.”
Implementasi Mahjur dalam kehidupan sehari-sehari
Aplikasi Konsep Mahjur dalam Kehidupan Sehari-hari dapat dilihat dari berbagai aspek, baik dalam interaksi sosial, bisnis, maupun dalam sistem hukum dan pemerintahan.
Konsep ini menekankan pentingnya keadilan, kejujuran, dan integritas, yang tidak hanya berlaku dalam konteks hukum formal, tetapi juga dalam kehidupan sehari-hari. Berikut adalah beberapa contoh bagaimana konsep mahjur dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari:
Dalam dunia bisnis, kejujuran dan integritas adalah pondasi yang sangat penting. Seseorang yang telah terbukti melakukan kecurangan atau memiliki reputasi buruk dalam transaksi bisnis mungkin akan dianggap sebagai mahjur oleh masyarakat.
Artinya, ia akan mengalami kesulitan untuk mendapatkan kepercayaan dalam transaksi bisnis di masa depan. Misalnya, seorang pedagang yang pernah terbukti berbohong tentang kualitas barang dagangannya mungkin akan kehilangan kepercayaan dari pelanggan, dan transaksi dengannya akan dihindari.
Dalam suatu komunitas atau organisasi, individu yang dikenal tidak jujur atau tidak memiliki integritas sering kali tidak diizinkan untuk mengambil posisi yang membutuhkan kepercayaan besar, seperti menjadi bendahara atau sekretaris.
Konsep mahjur dalam konteks ini memastikan bahwa hanya individu yang dapat dipercaya dan memiliki rekam jejak yang baik yang diberikan tanggung jawab besar.
Dalam keluarga, konsep mahjur dapat diterapkan dalam pengelolaan harta atau warisan. Misalnya, jika seorang anggota keluarga dianggap tidak mampu mengelola harta dengan baik atau memiliki kecenderungan untuk boros dan tidak bertanggung jawab. ia mungkin tidak diizinkan untuk mengelola harta keluarga atau warisan.
Ini bertujuan untuk melindungi aset keluarga dan memastikan bahwa pengelolaan harta dilakukan dengan cara yang benar dan bertanggung jawab.
Dalam konteks kepemimpinan, baik itu di lingkungan pemerintah, organisasi, atau bahkan kelompok kecil seperti komunitas, pemimpin yang tidak memiliki integritas atau terbukti melakukan kesalahan serius mungkin tidak akan dipercaya lagi untuk memegang posisi kepemimpinan.
Ini sesuai dengan prinsip mahjur, di mana seseorang yang tidak memenuhi syarat untuk memimpin atau memberikan kesaksian tidak boleh diberikan tanggung jawab besar karena dapat merugikan banyak pihak.
Dalam proses hukum, seseorang yang dianggap mahjur tidak boleh menjadi saksi atau terlibat dalam pengambilan keputusan hukum. Ini untuk memastikan bahwa semua keputusan hukum didasarkan pada kebenaran dan keadilan.
Misalnya, jika ada bukti bahwa seseorang pernah memberikan kesaksian palsu atau terlibat dalam kejahatan, kesaksiannya dalam kasus lain mungkin tidak akan diterima.
6. Pengaruh di Media Sosial
Dalam era digital saat ini, reputasi seseorang di media sosial juga bisa terpengaruh oleh konsep mahjur. Seseorang yang sering menyebarkan berita palsu atau informasi yang menyesatkan bisa dianggap mahjur oleh netizen. Akibatnya, orang tersebut mungkin kehilangan pengaruhnya dan tidak lagi dipercaya sebagai sumber informasi.
7. Hubungan Sosial dan Pertemanan
Bahkan Teman-teman atau anggota masyarakat mungkin tidak akan mempercayakan rahasia atau informasi penting kepada mereka, dan mereka bisa dianggap sebagai mahjur dalam konteks sosial.
Demikianlah Artikel mengenai mahjur ini, semoga bermanfaat dan ilmunya dapat diterapkan dalam lingkungan masyarakat. Terima Kasih
Baca Artikel Lainnya dengan mengunjungi www.spechindo.com
Reference
- Abdullah Muhammad Ath-Thayyar, Ensiklopedia Fiqh Muamalah dalam Pandangan 4 Madzab, (Yogyakarta: Maktabah al-hanif, 2009), hal. 236
- Sulaiman Rasyid, Fiqh Islam, (Jakarta: Attahiriyah, 1976), hal.301
- Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Rajawali pers, 2008) hal.221-229
- Kitab al-Umm oleh Imam al-Syafi'i, Vol. 1, hlm. 169-171
- Kitab Muwatta' Malik oleh Imam Malik, hlm. 230-232
- Kitab Al-Hidayah oleh Burhan al-Din al-Marghinani, Vol. 2, hlm. 150-155

