Tahapan Akad Istishna dan Istishna Paralel Menurut SOP Perbankan Syariah

Table of Contents

Istishna secara etimologis  adalah masdar dari kata sitashna asy-syai’ Artinya  meminta membuat sesuatu. yakni meminta kepada seorang pembuat untuk mengerjakan sesuatu. 

Adapun istishna secara terminologis adalah transaksi terhadap barang dagangan dalam tanggungan yang disyaratkan untuk mengerjakannya. Objek transaksinya adalah barang yang harus dikerjakan dan pekerjaan pembuatan barang itu.

Menurut kompilasi hukum ekonomi syariah, istishna  adalah jual beli barang atau jasa dalam bentuk pemesanan dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati antara pihak pemesan dan pihak penjual.

Dalam praktiknya, istishna sering diterapkan dalam industri yang memerlukan pembuatan barang secara khusus, seperti konstruksi bangunan, pembuatan kendaraan, atau produk-produk yang memerlukan desain khusus. Proses ini melibatkan kesepakatan antara pembeli dan penjual mengenai harga, waktu penyelesaian, dan spesifikasi barang yang akan diproduksi.

Akad jual beli istishna dapat memberikan fleksibilitas bagi pembeli untuk mendapatkan barang yang sesuai dengan keinginan dan kebutuhan mereka, sekaligus memberikan peluang bagi produsen untuk menawarkan layanan yang lebih comfortable.

Istishna juga memiliki relevansi dalam konteks hukum Islam, di mana transaksi ini dianggap sah selama memenuhi syarat-syarat tertentu. Salah satu syarat utama adalah adanya kejelasan mengenai spesifikasi barang dan harga yang disepakati. 

Hal ini bertujuan untuk menghindari sengketa di kemudian hari dan memastikan bahwa kedua belah pihak mendapatkan hak dan kewajiban yang jelas dalam transaksi tersebut. Dengan demikian, istishna menjadi salah satu metode yang penting dalam perdagangan yang sesuai dengan prinsip-prinsip syariah.

Perbedaan istishna dengan salam

Istishna  adalah bentuk transaksi yang menyerupai jual beli salam jika ditinjau dari sisi bahwa objek (barang) yang dijual belum ada, Namun demikian keduanya mempunyai perbedaan. Istishna merupakan salah satu bentuk dari jual beli salam, hanya saja objek yang diperjanjikan berupa manufakture order atau kontrak produksi.

Istishna  didefinisikan sebagai kontrak penjualan antara pembeli dan pembuat barang. Dalam kontrak ini pembuat barang (shani’) menerima pesanan dari pembeli (mutashna’) untuk membuat barang dengan spesifikasi yang telah disepakati kedua belah pihak yang bersepakat atas harga dan sistem pembayaran, yaitu dilakukan di muka melalui cicilan atau ditangguhkan sampai waktu yang akan datang.

Menurut Jumhur Fukaha, istishna  merupakan jenis khusus dari akad ba’i salam.  Bedanya, istishna  digunakan di bidang manufaktur. Dengan demikian ketentuan istishna  mengikuti ketentuan atau aturan akad (ba’i salam) .

Dalam konteks lain, salam berlaku umum untuk barang yang dibuat dan lainnya. Adapun istishna  khusus bagi sesuatu yang disyaratkan untuk membuatnya. Dalam salam juga disyaratkan membayar di muka, sedangkan istishna  tidak disyaratkan demikian.

Ada banyak hal yang sama antara istishna  dan salam. Misalnya, tempo yang ditentukan dalam salam merupakan masa untuk mengerjakan sesuatu yang menjadi tanggungan pembuat. Oleh karena itu, fukaha menempatkan pembahasan istishna  dalam Bab salam.

 

Perbedaan istishna dengan Ijarah

Dalam transaksi Istishna barang yang harus dibuat dan dipekerjakannya semuanya menjadi kewajiban shani  (pembuat/pekerja). Adapun dalam ijarah, barang yang harus dikerjakan dari peminta (pembeli) dan pekerja atau penjual hanya diminta mengerjakannya.

 

Syarat dan rukun Istishna

Syarat Istishna menurut pasal 104 s/d  pasal 108 kompilasi hukum ekonomi syariah adalah sebagai berikut:

  1. Ba’i Istishna mengikat setelah masing-masing pihak sepakat atas barang yang dipesan.
  2. Ba’i istishna dapat dilakukan pada barang yang bisa dipesan
  3. Dalam Ba’i Istishna Identifikasi dan deskripsi barang yang dijual harus sesuai permintaan pemesanan.
  4. Pembayaran dalam Istishna dilakukan pada waktu dan tempat yang disepakati.
  5. Setelah akad jual beli pesanan mengikat, tidak satupun boleh tawar-menawar kembali terhadap isi akad yang sudah disepakati.
  6. Jika objek dari barang pesanan tidak sesuai dengan spesifikasi, maka pemesanan dapat menggunakan hak pilihan (khiyar) untuk melanjutkan atau membatalkan pemesanan.

Adapun rukun Istishna sebagai berikut:

  1. Al aqidain ( dua pihak yang melakukan transaksi) harus mempunyai hak membelanjakan harta.
  2. Sighat, yaitu segala sesuatu yang menunjukkan aspek suka sama suka dari kedua belah pihak yaitu penjual dan pembeli.
  3. Objek yang ditransaksikan yaitu barang produksi.

 

Dasar hukum Istishna

Ulama yang membolehkan transaksi istishna berpendapat bahwa, Istishna disyariatkan berdasarkan sunnah nabi Muhammad  SAW, bahwa Beliau pernah minta dibuatkan cincin sebagaimana yang diriwayatkan Imam Bukhari sebagai berikut:” dari Ibnu Umar r.a,  bahwa Rasulullah  SAW minta dibuatkan cincin dari emas, beliau memakainya Dan meletakkan batu mata cincin di bagian dalam telapak tangan. Orang-orang pun membuat cincin. Kemudian beliau duduk di atas mimbar, melepas cincinnya, dan bersabda “ Sesungguhnya aku tadinya memakai cincin ini dan aku Letakkan batu mata cincin ini di bagian dalam telapak tangan.” Kemudian beliau membuang cincinnya dan bersabda “ Demi Allah aku tidak akan memakainya selamanya.” Kemudian orang-orang membuang cincin mereka. ( HR. Bukhari)

Ibnu Al-atsir menyatakan bahwa maksudnya beliau meminta dibuatkan cincin untuknya. Al-kaisani dalam kitab Bada’iu ash-shana’i Menyatakan bahwa Istishna telah menjadi ijma' sejak zaman  Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam tanpa ada yang menyangkal. Kaum muslimin telah mempraktikkan transaksi seperti ini karena memang ia sangat dibutuhkan .

 

Istishna paralel

Dalam sebuah kontrak Bai Al-Istishna, bisa saja pembeli mengizinkan pembuat menggunakan sub kontraktor untuk melakukan kontrak tersebut. Dengan demikian, pembuat dapat membuat kontrak Istishna kedua untuk memenuhi kewajibannya pada kontrak pertama. Kontrak baru ini dikenal sebagai Istishna paralel.

Ada beberapa konsekuensi saat bank syariah menggunakan kontrak Istishna paralel. Diantaranya sebagai berikut:

  1. Bank Syariah sebagai pembuat pada kontrak pertama  tetap merupakan satu-satunya pihak yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan kewajibannya. Istishna paralel atau Subkontrak untuk sementara harus dianggap tidak ada. Dengan demikian sebagai Shani pada kontrak pertama, bank tetap bertanggung jawab atas setiap kesalahan, kelalaian, atau pelanggaran kontrak yang berasal dari kontrak paralel
  2. Penerima subkontrak pembuatan pada Istishna paralel bertanggung jawab kepada Bank Syariah sebagai pemesan. Dia tidak mempunyai hubungan hukum secara langsung dengan nasabah pada kontrak pertama akad.  Ba’i al-istishna Kedua merupakan kontrak paralel, tetapi bukan merupakan bagian atau syarat untuk kontrak pertama. Dengan demikian kedua kontrak tersebut tidak mempunyai kaitan hukum sama sekali.
  3. Bank sebagai Shani’ atau pihak yang siap untuk membuat atau mengadakan barang, bertanggung jawab kepada nasabah atas kesalahan pelaksanaan sub kontraktor dan jaminan yang timbul darinya. Kewajiban inilah yang membenarkan keabsahan Istishna paralel juga menjadi dasar bahwa bank boleh memungut keuntungan kalau ada.


Hikmah disyariatkannya Istishna

Barang-barang produksi Yang telah ada tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan dan tuntutan manusia, khususnya pada masa modern sekarang ini ketika produk-produk sudah berkembang pesat, kebutuhan manusia terhadap produk-produk itu juga meningkat, sehingga harus diciptakan produk-produk baru untuk memenuhi kebutuhan dan selera mereka. 

Dalam kondisi seperti ini, pihak produsen mendapat keuntungan dengan menciptakan kreasi dan inovasi produk-produk yang sesuai dengan selera mereka. Sementara itu, konsumen mendapat keuntungan dengan terpenuhinya kebutuhan dan selera mereka baik dari segi bentuk dan kualitasnya. Dengan demikian, kedua belah pihak sama-sama memperoleh kemaslahatan

 

Pembiayaan Istishna

Produk Istishna menyerupai produk salam tetapi dalam Istishna pembayarannya dapat dilakukan oleh bank dalam beberapa kali (termin) pembayaran. Skim Istishna dalam bank syariah umumnya diaplikasikan pada pembiayaan manufaktur dan konstruksi.

Ketentuan umum pembiayaan Istishna adalah spesifikasi barang pesanan harus jelas, macam ukurannya, mutu, dan jumlahnya. Harga jual yang telah disepakati dicantumkan dalam akad Istishna dan tidak boleh berubah selama berlakunya  akad. Jika terjadi perubahan dari kriteria pesanan dan terjadi perubahan harga setelah akad ditandatangani, seluruh  biaya tambahan tetap ditanggung nasabah.

 

Ringkasan Tahapan Akad Istishna dan Istishna Paralel Menurut SOP Bank Syariah

No. Tahapan

1.

Adanya permintaan barang tertentu dengan spesifikasi yang jelas, oleh nasabah pembeli kepada bank syariah sebagai mustashni.

2.

Wa’ad nasabah untuk membeli barang dengan harga dan waktu tangguh pengiriman barang yang disepakati.

3.

Mencari produsen yang sanggup menyediakan barang dimaksud (sesuai batas waktu yang disepakati dengan harga yang lebih rendah)

4.

Pengikatan I antara bank dan nasabah untuk membeli barang dengan spesifikasi tertentu yang akan diserahkan pada waktu yang telah ditentukan.

5.

Pembayaran oleh nasabah dilakukan sebagian di awal akad dan sisanya sebelum barang diterima (sisanya disepakati untuk di angsur)

6.

Pengikatan II antara bank dan produsen untuk membeli barang dengan spesifikasi tertentu yang akan diserahkan pada waktu yang telah ditentukan

7.

Pembayaran dilakukan secara bertahap bank kepada produsen setelah pengikatan dilakukan.

8.

Pengiriman barang dilakukan langsung oleh produsen setelah pengikatan dilakukan.

Contoh Pembiayaan Istishna Pada Perbankan Syariah

Produk/Jasa Akad
Pemesanan barang Investasi Istishna
Renovasi Istishna


Kesimpulan

Mengenai materi pembahasan istishna menunjukkan bahwa kontrak ini tidak hanya mengatur aspek jual beli, tetapi juga menciptakan ruang untuk menciptakan inovasi dan pengembangan produk. 

Istishna memungkinkan penjual untuk mendapatkan modal awal dari pembeli sebelum barang diproduksi, sementara pembeli dapat memastikan bahwa barang yang diterima sesuai dengan spesifikasi yang diinginkan. 

Oleh karena itu, pemahaman yang mendalam tentang istishna sangat penting bagi pelaku bisnis yang ingin menerapkan prinsip-prinsip syariah dalam transaksi bisnis mereka, Agar kiranya setiap transaksi yang dijalankan dapat memenuhi prinsip-prinsip keadilan dan transparansi.

Demikianlah pembahasan istishna ini semoga bermanfaat dan dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.


Daftar Pustaka

- M. Syafi'i Antonio, Bank Syariah Wacana Ulama dan Cendikiawan, (Jakarta: Tazkia Institut, 1999)

- Adiwarman A. Karim, Bank Islam Analisis Fiqh dan Keuangan, (Jakarta: Rajawali Pers, 2004)

- Abdullah bin Muhammad Ath-Thayyar, Ensikloedia Fiqh Muamalah dalam pandangan 4 madzab, (Ypgyakarta: Maktabah al-hanif, 2009)

Posting Komentar