Secara etimologis Riba berasal dari bahasa Arab yaitu tambahan (azziyadah), berkembang (an-numuw), membesar (al-'uluw) dan meningkat (al-irtifa'). Sedangkan secara terminologis, menurut al-Shabuni, Riba adalah tambahan yang diambil oleh pemberi hutang dari penghutang sebagai imbalan dari masa (meminjam).
Sedangkan menurut bahasa riba merupakan suatu tambahan lebih dari modal asal, biasanya transaksi riba sering dijumpai dalam transaksi hutang piutang dimana kreditur (Orang yang memberi pinjaman) meminta tambahan dari modal asal kepada debitur (Orang yang meminjam).
Dalam praktiknya, Riba merujuk pada pengambilan keuntungan yang tidak adil dari pinjaman uang, di mana peminjam diwajibkan untuk membayar kembali jumlah yang lebih besar daripada yang dipinjam. Konsep ini dianggap bertentangan dengan prinsip keadilan dan keseimbangan dalam transaksi ekonomi, karena dapat menyebabkan eksploitasi terhadap individu atau kelompok yang berada dalam posisi lemah secara finansial.
Dasar Hukum Riba
1. Al-Qur'an
Al-Abbas dan Khalid bin Walid adalah dua orang yag berkongsi di zaman Jahiliyah dengan memberikan pinjaman secara riba kepada beberapa orang bani Tsaqif. Setelah Islam datang, kedua orang itu masih mempunyai sisa riba dalam jumlah besar. Lalu turunlah Firman Allah SWT, QS. Al-Baqarah: 278 yang berbunyi:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.” (Al-Baqarah: 278)
Selain itu dasar hukum riba termaktub secara menyeluruh kedalam Firman Allah SWT Qs. Al-Baqarah ayat 275-281 yang menjelaskan bahwa Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Hal ini menunjukkan bahwa praktik riba dianggap merugikan masyarakat dan banyak mudhorat yang ditimbulkan karena praktik riba tersebut.
2. Hadist
Nabi Muhammad SAW juga dengan tegas melarang riba. Beberapa hadist yang menjadi dasar hukum riba antara lain:
Dari Jabir radhiyallahu ‘anhu diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW melaknat orang yang makan riba, orang yang memberikannya, pencatatnya, dan dua saksinya. Beliau bersabda: "Mereka semua sama (dalam dosa)." (HR. Muslim)
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah SAW bersabda: "Jauhilah tujuh dosa yang membinasakan." Para sahabat bertanya, "Apakah itu wahai Rasulullah?" Beliau menjawab, "Menyekutukan Allah, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan hak, memakan riba, memakan harta anak yatim, lari dari medan perang, dan menuduh berzina wanita mukmin yang suci." (HR. Bukhari dan Muslim)
3. Ijma' Ulama
Para ulama sepakat bahwa riba haram dan termasuk dosa besar. Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang haramnya riba, baik dalam bentuk riba nasi'ah (tambahan karena penundaan pembayaran) maupun riba fadl (tambahan dalam pertukaran barang yang sejenis dengan takaran yang berbeda).
4. Qiyas
Dalam kasus-kasus baru yang tidak secara konseptual disebutkan dalam Al-Qur'an atau Hadis, para ulama menggunakan metode qiyas (analogi) untuk menetapkan hukumnya. Misalnya, jika suatu bentuk transaksi keuangan modern dianggap memiliki karakteristik yang sama dengan riba, maka hukumnya juga haram.
Jenis-Jenis Riba
Dalam Praktiknya riba terbagi kedalam tiga jenis, yaitu:
1. Riba Nasi'ah
An Nasi’ah artinya adalah penundaan. Adanya penambahan sebagai imbalan atas ditangguhkannya pembayaran atau pelunasan. Riba nasi’ah adalah model riba yang sudah dikenal di kalangan Jahiliyah. Ibnu JarirAth-Thabari mengisahkan, di zaman jahiliyah biasa terjadi seseorang meminjam uang kepada orang lain untuk waktu tertantu.
Kemudian Apabila batas waktu yang diberikan itu sudah habis, ia minta uang tersebut untuk dikembalikan. Lalu orang yang berhutang tadi mengatakan kepada yang memberi hutang, “berilah aku waktu dan uangmu itu akan kubayar lebih”. Lalu keduanya sepakat untuk melaksanakan. Itulah riba yang berlipat ganda. Kemudian setelah mereka masuk islam, Allah Swt, melarangnya”
Dalam perbankan konvensional, Riba nasi'ah dapat ditemui dalam pembayaran bunga kredit dan pembayaran deposito, tabungan, giro dan lain-lain. Bank sebagai kreditur yang memberikan pinjaman mensyaratkan pembayaran bunga yang besarnya tetap dan ditentukan terlebih dahulu diawal transaksi (fixed and predetermined rate).
padahal nasabah yang mendapatkan pinjaman itu tidak mendapatkan keuntungan yang fixed and predetermined juga, karena dalam bisnis ada kemungkinan rugi, impas dan untung, yang besarnya tidak dapat ditentukan dari awal. Jadi mengenakan tingkat bunga untuk suatu pinjaman merupakan tindakan yang memastikan sesuatu yang tidak pasti, karena itu diharamkan
2. Riba Fadl
Riba fadl disebut juga riba buyu' yaitu riba yang timbul akibat Pertukaran barang sejenis yang tidak memenuhi kriteria sama kualitasnya (mistlan bi mistlin), sama kuantitasnya (sawa-an bi sawa-in) dan sama waktu penyerahannya (yadan bi yadin).
pertukaran semisal ini mengandung gharar, yaitu ketidakjelasan bagi kedua belah pihak akan nilai masing-masing barang yang dipertukarkan. ketidakjelasan ini dapat menimbulkan tindakan zhalim terhadap salah satu pihak, kedua pihak, dan pihak-pihak lain.
Dalam perbankan, riba fadl dapat ditemui dalam transaksi jual beli valuta asing yang tidak dilakukan secara tunai (spot).
3. Riba Jahiliyah
Riba jahiliyah adalah utang yang dibayar melebihi dari pokok pinjaman , karena si peminjam tidak mampu mengembalikan dana pinjaman pada waktu yang telah ditetapkan.
Riba Jahiliyah dilarang karena terjadi pelanggaran kaidah "Kullu Qardin Jarra Manfa'atan Fahuwa Riba" (Setiap pinjaman yang mengambil manfaat adalah riba). memberi pinjaman adalah transaksi kebaikan (tabarru), sedangkan meminta kompensasi adalah transaksi bisnis (tijarah). Jadi transaksi yang dari semula diniatkan sebagai transaksi kebaikan tidak boleh diubah menjadi transaksi yang bermotif bisnis.
Dalam Perbankan Konvensional, Riba Jahiliyah dapat ditemui dalam pengenaan bunga pada transaksi kartu kredit yang tidak dibayar penuh tagihannya.
Dari definisi riba, sebab (illat) dan tujuan (hikmah) pelarangan riba, maka dapat didefinisikan praktik perbankan konvensional yang tergolong riba. Riba fadl dapat ditemui dalam transaksi jual beli valuta asing yang tidak dilakukan secara tunai. Riba nasi'ah dapat ditemui dalam transaksi pembayaran bunga kredit dan pembayaran bunga tabungan/deposito/giro. Riba Jahiliyah dapat ditemui dalam pengenaan bunga pada transaksi kartu kredit yang tidak dibayar penuh tagihannya.
Tabel 1.1 dibawah memberikan ikhtisar mengenai riba: Jenis-jenisnya, sebab-sebab diharamkannya, serta cara-cara untuk menghilangkan faktor-faktor yang menyebabkan keharamannya itu
Tabel 1.1 Ikhtisar Riba
|
Tipe
|
Faktor Penyebabnya
|
Cara menghilangkan Faktor Penyebabnya
|
|
Riba Fadl
|
Gharar (Uncertain to both parties)
|
Kedua belah pihak harus memastikan faktor-faktor berikut ini:
- kuantitas
- kualitas
- harga
- waktu penyerahan
|
|
Riba Nasi’ah
|
Al-ghunmu bi la ghurmi, al-kharaj bi la dhaman (return tanpa resiko, pendapatan tanpa biaya).
|
Kedua belah pihak membuat kontrak yang merinci hak dan kewajiban masing-masing untuk menjamin tidak adanya pihak manapun yang mendapatkan return tanpa menanggung resiko, atau menikmati pendapatan tanpa menanggung biaya.
|
|
Riba Jahiliyah
|
Kullu qardin jarra manfa’atan fahuwa riba (memberi pinjaman sukarela secara komersil, karena setiap pinjaman yang mengambil manfaat adalah riba)
|
- Jangan mengambil manfaat apapun dari akad/transaksi kebaikan (tabarru’)
- kalaupun ingin mengambil manfaat maka gunakanlah akad bisnis (tijarah), bukan akad kebaikan (tabarru')
|
Kesimpulan
Dari pembahasan mengenai riba diatas menunjukkan bahwa praktik ini memiliki implikasi yang signifikan baik dalam konteks ekonomi maupun sosial. Riba, yang secara umum didefinisikan sebagai pengambilan keuntungan yang tidak adil dari pinjaman uang, bertentangan dengan prinsip keadilan dan keseimbangan dalam transaksi ekonomi. Dalam perspektif syariah, riba dianggap sebagai suatu bentuk eksploitasi yang dapat menyebabkan ketidakstabilan ekonomi dan ketidakadilan sosial.
Oleh karena itu, penting untuk memahami dan mengedukasi masyarakat mengenai bahaya riba serta mendorong praktik keuangan yang lebih etis dan berkelanjutan, seperti sistem bagi hasil, yang dapat memberikan manfaat bagi semua pihak yang terlibat. Dengan demikian, penghapusan riba dari sistem keuangan diharapkan dapat menciptakan masyarakat yang lebih adil dan sejahtera.
Daftar Pustaka
- Iqbal Ahmad Khan Suhail, What is Riba, Terjemahan Haqiqatu Riba, (New delhi: Pharos Media & Publishing Pvt Ltd), 1999
- Aswath Damodaran, Corporate Finance: Theory and Practice, (New york: John wiley & Sons, 2001), Edisi ke-2
- Justice Muhammad Taqi Usmani, The text of the historic Judgement on Riba, (Kuala lumpur: The other press, 2001)
Posting Komentar